Monday, December 2, 2013

Asal mula situ bagendit

Jaman dahulu kala di kota Garut ada sebuah perkampungan terpencil. Penduduknya hidup dari bercocok tanam dan bertani serta mencari ikan di sungai-sungai kecil. 

Di kampung tersebut ada seorang Janda yang kaya raya, tanahnya luas, kolamnya banyak besar-besar. Banyak penduduk disana yang bekerja padanya. Janda tersebut terkenal dengan sebutan Nyi Endit.

Kenapa disebut Nyi Endit, itu karena berasal dari bahasa sunda yaitu Medit (tidak suka memberi sedekah). Walaupun kekayaannya banyak berlimpah namun susah untuk memberi sedekah terhadap sesama. Ada yang ingin meminjam jarang dikasih.

Kalau ada yang meminjam padi satu kilo harus dikembalikan lebih dari satu kilo, kalau ada yang meminjam uang seribu harus dikembalikan seribu lima ratus. Dijaman sekarang mungkin disebutnya rentenir. Kalau ada yang telat dalam membayar hutangnya maka yang punya hutang akan dihukum dengan hukuman bermacam-macam mulai dari di jemur dibawah terik matahari, diikat kebatang pohon, dirantai dan sebagainnya.

Tetapi kalau ada pejabat yang datang ke kampung tersebut, maka akan di senangkan oleh Nyi Endit dikasih berupa-rupa hasil panen, rakyat miskin dijauhkan supaya tidak terlihat oleh pejabat teresebut, yang dikumpulkan hanya pegawainya saja. Hal ini yang menyebabkan pejabat yang datang tidak tau kelakuan Nyi Endit yang sering menindas rakyat.

Ada seorang kakek yang sudah tua umurnya yang berhutang pada Nyi Endit, suatu hari kakek itu ditagih oleh pegawainya Nyi Endit, karena tidak bisa membayar hutangnya kakek tersebut malah disiksa oleh pegawainya Nyi Endit. Maka pergilah kakek tersebut kerumah Nyi Endit untuk mengadukan hal tersebut. Tapi apa dikata sesampainya dirumah Nyi Endit dan mengadukan hal tersebut, bukannya di bela tapi malah kena marah oleh Nyi Endit dicaci dan dimaki oleh Nyi Endit.

Sang kakek merasa sakit hati oleh Nyi Endit, maka sang kakek pergi pun dari rumah Nyi Endit sambil menangis. Karena sudah tua dan hari itu sang kakek belum makan, ditengah jalan sang kakek tidak kuat lagi berjalan dan dia pun jatuh. Sang kakek jatuh dan tidak bisa berdiri, dia pun berteriak minta tolong namun tidak ada seorangpun disana. Tiba-tiba datang seorang anak bertubuh hitam berkepala botak dan perutnya buncit.

Sang anak itu kemudian meolong sang kakek. Sambil keheranan sang anak bertanya kepada sang kakek, 'kakek kenapa jatuh?' sang kakek pun menjawab 'kakek jatuh karena lapar, letih dan juga sedih'. 'Aduh kasisan sekali kakek nampaknya sengsara sekali kakek ini' kata si anak. 'Iya kehidupan kakek memang sengsara dan masih banyak lagi yang lebih sengsara daripada kakek' kata si kakek. Si anak pun merasa heran karena di desa tersebut kelihatannya makmur banyak kebun dan tanaman padi berlimpah kolam pun banyak disana-sini, iya pun menanyakan hal itu kepda si kakek. Si kakek menerangkan semuanya bahwa kekayaan di kampung tersebut semuanya milik Nyi Endit yang sangat pelit dan selalu menyiksa rakyat miskin.

Sang anak merasa miris mendengar cerita dari sang kakek dan sangat marah hatinya. Lalu dia pun pergi ke rumah Nyi Endit yang pada hari itu sedang mengadakan hiburan di rumahnnya. Dia datang ke hadapan Nyi Endit dan meminta makanan. Nyi Endit pun merasa kaget ada anak kecil jelek lagi datang kehadapannya meminta makanan, bukannya dikasih malah si anak dimarahin sama Nyi Endit dan menyuruh pegawainya untuk memberi pelajaran kepada anak tersebut. Sang anak pun lari dikejar-kejar pegawai Nyi Endit namun tidak terkejar oleh pegawainnya Nyi Endit.

Malam harinya saat Nyi Endit sedang mengadakan hiburan di rumahnya, tiba-tiba dikagetkan lagi dengan kemunculan anak tersebut yang kembali meminta makanan. Nyi Endit pun marah dan mencaci maki anak itu. Lalu anak itupun berkata kepada Nyi Endit 'apakah hartamu akan kamu bawa mati?' Nti Endit pun menjawab 'iya daripada aku bagikan kepada orang jelek miskin seperti kamu lebih baik aku bawa mati'.

Maka saat itu juga si anak menancapkan sebuah bambu kuning di pelataran rumah Nyi Endit dan berkata 'jangan cabut bambu ini bila tidak ingin bencana melanda'. Mendengar itu Nyi Endit pun makin marah dan tidak menghiraukan ucapan anak itu, dia pun mencabut bambu tersebut.

Setelah bambu dicabut, tiba-tiba memancurlah air dari tanah itu yang semakin lama semakin banyak dan terus memancur. Nyi Endit pun ketakutan dan iya pergi kedalam rumah untuk menyelamatkan hartanya. Namun apa yang terjadi, air tesebut semakin banyak dan akhirnya menengelamkan Nyi Endit dan hartanya, jadilah sebuah danau atau situ yang sekarang disebut situ Bagendit.

Itulah asal mula situ Bagendit, ini hanya sebuah kisah dongeng tentang asal mula situ Bagendit.


Riwayat Keberadaan Orang Jawa di Bandung

Menurut sejarah kebaradaan orang jawa di Ujungberung Bandung sudah ada dari abad ke 17. Mereka datang karena mengungsi dari Mataram dan juga dibawa oleh Belanda untuk keperluan pembangunan. Bahkan menurut cerita, Stasiun Kereta Api Kiaracondong sengaja dibuat untuk mengangkut orang jawa ke tanah sunda ini untuk dipekerjakan di pabrik mesiu. Makanya jangan heran kalau di sekitar Stasiun Kiaracondong terdapat Kampung Jawa.

Ujung berung merupakan wilayah Bandung sebelah Barat yang sekarang luasnya hanya tinggal sedikit hanya sebatas Kecamatan. Jaman Belanda dahulu Ujungberung merupakan pusat distrik. Wilayahnya luas ke arah Barat sampai dengan Tanjungsari terus ke arah Timur ke Rajamandala ke arah Utara sampai ke Lembang dan ke Selatan sampai ke Pangalengan.

Menurut catatan Belanda pada abad ke 17 Ujungberung sudah banyak didatangi orang dari pulau Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam catatan ini menyebutkan bahwa orang Jawa di tahun 1810 sudah menjadi tenaga utama untuk memindahkan pusat kota dari Dayeuhkolot ke Bandung yang sekarang berada di dekat jalan raya Pos Deandels. Di suatu tempat di Kota Bandung pernah ada suatu desa yang disebut Babakanjawa yang berasal dari kata orang Jawa ngababakan(membuat desa). Di Kiaracondong juga terdapat tempat yang disebut Babakan Surabaya. Menurut catatan ada tiga tembat yang memakai nama Babakan Surabaya yaitu di Kiaracondong, di Rancaloa dan Limbangan dan ketiganya ada kaitan khusus.

Sampai dengan tahun 1980-an di Jatinangor masih ada makam khusus untuk orang Jawa. Tapi sekarang sudah tergeser dengan pembangunan perumahan. Di Rancaekek sampai dengan sekarang masih ada tempat yang disebut Kampung Jawa. Pada jaman perang melawan Belanda tempat ini pernah dijadikan pengungsian orang Jawa.

Orang Jawa datang ke Ujungberung pada abad 17 diawali oleh tentara Mataram yang bernama Ki Jalaludin. Menurut cerita Ki Jalalaudin merupakan orang sakti yang di utus oleh Mataram untuk memerangi Belanda. Akan tetapi karena tidak berhasil disebabkan jumlah balatentara nya kalah oleh pasukan belanda, Ki Jalaludin dan balatentaranya tidak pulang lagi ke Mataram, lalu menetap di wilayah Distrik Ujungberung. Ki jalaludin mempunyai anak Ki Malim, nah Ki Malim ini yang membawa banyak orang jawa  ke Kabupaten Bandung pada tahun 1810 untuk membantu memindahkan pusat kota Bandung dari Dayeuhkolot ke tempat sekarang.

Ki Malim sendiri wafat pada tahun 1850, dan sekarang makamnya masih ada dan banyak dijiarahi tepatnya di Gang Embah Malim, Kiaracondong Bandung. Makamnya masih terurus walaupun sudah sempit oleh perumahan disekitarnya.

Pada jaman Belanda orang jawa juga pernah diangkut oleh Belanda untuk kepentingan pertahanan militernya, Belanda tahun 1898 memindahkan pabrik mesiunya dari Ngawi ke Bandung. Pabrik mesiu ini berdiri sampai dengan taun 1950-an yang dulu disebut ACW (Artillerie Construstie Winkel) lalu berubah menjadi PSM (Pabrik Senjata dan Mesiu) lalu sekarang berubah lagi menjadi Pindad (Pabrik Industri Angkatan Darat). Pegawianya dibawa dari Ngawi.

Kenapa orang Belanda membawa orang Jawa untuk dijadikan pegawai, menurut cerita Belanda merasa bahwa orang Jawa bisa menyatu dengan penduduk asal yang kebanyakan orang Jawa yang sebelumnya pernah ada yang dibawa oleh Ki Malim.

Sumber:
Majalah Ujung Galuh.

Sunday, December 1, 2013

Adu Macan dan Munding (Kerbau Jawa) di Purwakarta


Pada Jaman Mataram semua wilayah kabupaten yang termasuk wilayah Mataram terdapat pusat kota yang disebut Alun-alun. Begitu juga di Purwakarta ada alun-alun yang disebut Alun-alun Kiansantang.

Alun-alun Purwakarta didirikan pada tahun 1845. Alun-alun merupakan tempat berkumpulnya orang-orang untuk mengadakan berbagai macam kegiatan. Jika pejabat pemerintahan ingin memngumumkan sebuah pengumumam maka diadakan di Alun-alun ini.

Di Alun-alun Kiansantang Purwakarta setiap taun masih ada kegiatan. Pada saat bulan Ramadhan banyak kegiatan seperti pameran dan bazaar yang diadakan di Alun-alun ini. Pada saat lebaran tiba banyak orang berdatangan ke Alun-alun tidak hanya orang tua tapi anak-anak juga pada berdatangan ke Alun-alun.

Di sekitar bulan Desember 1854, di Alun-alun Purwakarta pernah diadakan kegiatan mengadu Macan dan Munding (Kerbau Jawa). Beberapa Kerbau Jawa diadu dengan satu Macan. Kegiatan ini diadakan pada ajaman Bupati RAA Sastradiningrat I. Sepertinya  Adu Macan dan Kerbau Jawa ini diadakan untuk acara pembukaan Alun-alun yang baru di resmikan.

Lisung Tempat Menutu Padi

Lisung merupakan suatau alat yang digunakan untuk menutu padi (memisahkan padi dari cangkangnya). Lisung dibuat dari pohon yang besar dijadikan persegi seperti perahu untuk keperluan menutu padi. Panjangnya sampai dengan 2,5 m ada juga yang hanya 1,5 m, lebarnya kurang lebih 40 cm.

Di masyarakat Baduy ada tempat keramat yang disebut Arca Domas yang berada di sebalah selatan. Saung lisung pendiriannya mengahdap ke arah selatan sebab menurut riwayat pendirian saung lisung harus mengahdap selatan tidak boleh mengahadap utara dan membelakangi arah selatan karena di arah selatan terdapat tempat keramat, jadi tidak boleh membelakangi tempat keramat. Sedangankan didaerah lain mengahdapnya saung lisung bebas tidak ada aturannya.

Lisung dibuat oleh masyarakat dan digunakan untuk masyarakat. Banyaknya Lisung tergantung dari luasnya suatu wilayah masyarakat dan banyaknya masyarakat yang mendiaminya. Semua masyarakat boleh menggunakan Lisung ini. Yang menutu padi biasanya kaum wanita. 

Tempat Lisung bisanya di ujung kampung ada juga yang di dekat sawah atau di dekat kolam. Saung lisung menjadi tempat bermainnya anak-anak kecil, dan juga tempat bertemunya para remaja wanita dan laki-laki.

Pada saat prosesi menutu padi tidak hanya Lisung yang dipakai tetapi ada juga alat lainnya seperti halu, nyiru untuk memisahkan padi dengan cangkangnya. Kebanyakan yang datang ke Saung Lisung yaitu wanita yang bertujuan untuk menutu padi.

Pada jaman sekarang Lisung sudah hampir tidak dipakai lagi dan digantikan dengan mesin. Mesin yang sekarang jauh lebih cepat untuk memisahkan padi dengan cangkangnya.

Teknologi yang ada sekarang sudah merubah kehidupan sosial masyarakat yang tadinya menutu padi dilakukan oleh kaum wanita tetapi dengan adannya mesin sekarang ini menutu padi dilakukan oleh kaum laki-laki.

Lisung sekarang sudah berubah fungsi hanya untuk menjadi hiasan di rumah-rumah. Anak-anak sekarang sudah tidak mengenal lagi dengan yang namanya Lisung ini.

Alat dapur yang sudah musnah

Jaman dahulu alat dapur dibuat dengan sederhana dan banyak bentuk dan macamnya yang sekarang tidak akan dikenal lagi oleh anak-anak. Beberapa alat dapur yang sudah musnah itu diantaranya:

Lisung

Lisung: merupakan tempat untuk menutu padi, yang menutunya dalah kaum wanita.

Seeng diatas Hawu

Seeng: digunakan untuk memasak padi menjadi nasi, caranya Seeng dimasukin air di pasak sampai mendidih lalu diatasnya ada yang namanya aseupan tempat dimasukannya padi.
Hawu: merupakan tempat untuk memasak kalo sekarang sudah diganti dengan kompor.

Dulang: tempat untuk menanak nasi, sekarang sudah digantikan dengan alat dari plastik.


Tetenong
Tetenong: tempat untuk menyimpan nasi, sebelum adanya lemari makanan disimpan di Tetenong ini yang terbuat dari anyaman bambu.


Saturday, November 30, 2013

Ketuk Tilu

Ketuk Tilu manjadi inspirasi lahirnya seni tari sunda yang sekarang dikenal dengan nama Jaipong. Walaupun ketuk tilu sudah jarang dikenal masyarakat namun keseniannya tidak pernah hilang. Saat sekarang ini masih ada pementasan kesenian ketuk tilu di daerah Jawa Barat, contohnya di Kebun Binatang Bandung dan Kampung Seni & Wisata Ciborelang, Cileunyi Kabupaten Bandung. 

Pengambilan nama Ketuk Tilu ini diambil dari alat pengiring kesenian ini yaitu Ketuk yang berjumlah tiga. Bentuk Ketuk sendiri seperti Bonang bulat dan ditengahnya menonjol. Kesenianini merupakan kesenian Tari dimana ada penarinya yang disebut ronggeng, dan alat pengiringnya yaitu ketuk, kendang, rebab/terompet, kecrek dan goong.

Berdasarkan beberapa sumber yang ada ketuk tilu ini berasal dari upacara panen. Tarian yang dilakukan merupakan bentuk penghormatan kepada Dewi Kesuburan (nyi Pohaci).

Karena perkembangan jaman kesenian ketuk tilu mengalami perubahan fungsi, dari fungsi ritual menjadi hiburan. Bergesernya fungsi ini menurut Thomas Stanford Raffless dimulai dari taun 1800-an. Ronggeng yang ada pun sudah menjadi penari bayaran.

Walaupun sudah bergeser menjadi hiburan namun tata cara yang dipakai masih menggunakan tata cara yang lama. Tempat pertunjukannya hanya cukup disinari oleh obor (api yang dibuat dengan bambu), tidak memakai panggung tapi cukup ditanah.

Adanya obor yang berada di tengah-tengah bukan hanya untuk memberikan penerangan saat pertunjukan akan tetapi mempunyai arti kemandirian dan lambang pusatnya dunia.

Waktu pementasannya dimulai pada waktu setelah Sholat Isya sekitar jam 8 malam sampai pagi. Pementasannya dimulai dengan memainkan alat musik terus Ronggeng menyanyi Kembang Gadung atau Kidung. terus dilanjutkan dengan tarian wayang.

Mungkin dijaman sekarang ini banyak masyarakat yang tidak kenal dengan kesenian ini dikarenakan jarangnya pementasan kesenian ini. Namun kita sebagai generasi penerus bangsa ini jangan sampai kehilangan warisan budaya bangsa yang luhur ini. Sudah sepantasnya kita melestarikan budaya bangsa seperti ini.